Globalisasi
dan Perawatan Budaya Nasional
Era globalisasi yang ditandai oleh adanya saling kebergantungan (interdependence)
antarnegara. Hal ini suatu hal yang tidak bisa dihindari, sebagai konsekuensi
dari semakin longgarnya batas negara. Dunia menjadi tanpa batas (borderless),
yang ditandai dengan tidak terhambatnya arus orang, barang dan jasa.
Globalisasi juga ditandai dengan semakin bebasnya arus informasi dan komunikasi
menembus batas-batas teritorial negara, membawa pengaruh dalam berbagai bidang.
Komunikasi dan interaksi yang tidak dapat dibatasi oleh batas geografis dan
teritorial, memungkinkan terjadinya interaksi dan keterpengaruhan.Termasuk di
dalamnya adalah pola kepribadian, gaya hidup, dan kesenian. Semakin lemah suatu
negara maka akan semakin besar dia terpengaruh dan bergantung. Sikap pragmatis,
individualis, materialis dan hedonis merupakan hal-hal yang terbawa juga dan
berpengaruh pada masyarakat.
Saling pengaruh adalah proses yang wajar namun menjadi catatan tersendiri
jika daya tahan rapuh. Internalisasi nilai-nilai yang terbentuk
bertahun-tahun yang membentuk budaya, akan tergerogoti oleh nilai-nilai
luar karena tidak adanya komitmen kuat. Akhirnya, kebudayaan yang terbentuk
melalui proses panjang, terus menerus dan dimulai dari kebiasaan-kebiasaan
serta dari satuan-satuan kecil (individu, kelompok) sampai kepada satuan yang
besar (suku, bangsa), akan hilang dan tergantikan oleh budaya luar secara
pelan-pelan tapi pasti.
Arus budaya global dengan segala plus dan minusnya, merupakan tantangan besar
bagi penataan nilai-nilai budaya dan watak bangsa (nation and character
building). Hal ini merupakan persoalan serius, jika tidak ingin kehilangan
nilai-nilai dan budaya adi luhung yang sudah terbentuk berabad-abad. Peningkatan daya tahan dan komitmen harus dilakukan
secara sistematis, terintegrasi dan holistik. Tidak hanya lewat jalur
pendidikan, tetapi juga non pendidikan. Formal dan informal. Antardepartemen
dan lintas departemen.
Sudah saatnya antara Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata (Depbubpar) lebih meningkatkan kinerja dan kerja
samanya dalam memelihara, merawat dan mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan
bukan semata-mata kesenian. Kesenian hanyalah sub sistem kebudayaan. Di
dalamnya terdapat pengendapan tata nilai, penggalian, pelestarian dan
pengembangan sehingga kebudayaan sebagai identitas nasional tetap eksis. Di
situlah peran Depdiknas yang dahulu merupakan satu kesatuan dengan kebudayaan ketika
masih bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Departemen P dan
K).
Pendidikan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan manusia-manusia cerdas dan
siap berkompetisi secaram global. Melahirkan generasi yang berkepribadian kuat,
kepemimpinan yang tangguh serta merawat, mengembangkan dan mengawal identitas
budaya nasional juga merupakan suatu keharusan. Apalagi di tengah-tengah
gencarnya serbuan dan arus bandang budaya asing yang belum tentu sesuai dengan
karakter bangsa. Juga di saat kondisi bangsa yang sedang
mengalami berbagai dekadensi akibat faktor internal maupun eksternal.
Diperlukan strategi budaya untuk menangkal dan memfilter produk budaya asing
yang tidak sesuai. Penanaman nilai-nilai keindonesiaan melalui jalur pendidikan
serta pelibatan masyarakat secara luas adalah salah satu solusinya. Penanaman
kebanggaan, inventarisasi, sosialisasi dan saling tukar apresiasi produk-produk
budaya etnik yang beraneka ragam, sangat penting untuk menumbuhkan kepemilikan
dan kebersamaan. Alangkah indahnya jika saudara-saudara di Papua dapat
menikmati pertunjukan Ketoprak, senang makan gudeg, menikmati ronda malam dan
kerja bakti di Jogyakarta. Atau rekan-rekan Jawa yang menikmati dan fasih,
ketika mendendangkan “Apuse”, “Butet”, gemar makan bubur Manado, serta
menemukan keasyikan ketika ikut tradisi “bakar batu”. Diperlukan
langkah-langkah nyata, terpadu, dan terus-menerus agar terbentuk mental,
kepribadian dan kemauan kuat untuk merawat dan mengawal identitas budaya
nasional. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga segenap anak bangsa. Dan
dimulai dari diri sendiri, lingkungan terkecil, dan akhirnya keseluruhan.
(Ditulis pada jurnal Ilmiah Bestari edisiseptember-Desember 2009
No.42/Th.XXII).
D.Kesimpulan
Sebagai
akhir dari tulisan ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah:
Mayarakat
majemuk dengan sifat primordialisme horisontalnya memiliki potensi konflik yang
dapat mengarah ke disintegrasi nasional,terlebih apabila masing-masing kelompok
menggunakan kerangka budaya mereka dlam berkomunikasi maka ia dapat menjadi
masalah terciptanya integrasi nasional.
Berikut
ini adalah cara-cara mempertahankan kebudayaan Indonesia :
- Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
- Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
- Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
- Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
- Selektif terhadap kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia
- Pemerintah harus Menghak-patenkan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar